Peringatan : Sebelum membaca autobigrafi saya, tolong jangan merubah pandangan anda terhadap saya. Tetaplah berpandangan biasa terhadap saya. Dan mungkin peringatan yang ini terlalu berlebihan, tapi tetap harus saya sampaikan jika inilah kehidupan saya. Banyak hal sedih yang saya lalui dan saya harap anda siap mental untuk membaca cerita ini. Terima kasih dan salam terhangat dari M. Sidik Andina A.
Masa-masa sebelum sekolah
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Nama saya Muhammad Shiddiq Andina Aris, tapi karena kesalahan penulisan di surat kelahiran dan kartu keluarga, nama saya dipotong menjadi M. Sidik. Saya lahir di Bandung Tanggal 8 Juni 1990, dan yap, saya berumur 25 tahun sekarang. Saya anak pertama dari empat bersaudara, seperti yang orang bilang bahwa menjadi anak pertama itu beban dan sulit karena harus menjaga semua adik-adiknya dan karena harus menjadi contoh dan panutan dari adik-adiknya. Dan jika bisa saya tambahkan, sangat sulit juga karena pada saat anak pertama lahir, para orang tua masih baru belajar untuk mendidik, sehingga bagaimanapun sifat dari orang tua saat itu, anak pertama tidak bisa menentang dan harus menerima, meskipun pada saat itu orang tua sedang labil-labilnya dan masih perlu beradaptasi dalam mendidik anak. Mengapa saya katakan demikian? Karena itulah yang saya alami selama ini. Jika anda penasaran, maka kita lanjutkan pada cerita berikut, dan saya yakin anda pasti akan mengerti kenapa saya berkata demikian.
Masa-masa saat saya masih bayi sampai umur 3 tahun saya tidak terlalu ingat, karena pastinya saat itu saya belum bisa mengerti dan mengingat apapun itu. Yang jelas, saya mendengar dari orang tua saya bahwa saya lahir di Bandung dalam keadaan yang sangat sederhana, atau yang biasa dikatakan “miskin”. Saya mendengar dari ibu saya bahwa sebenarnya kami orang yang cukup ada(meskipun bukan orang yang cukup berada), tapi karena suatu keirian dari orang lain kami harus menelan pil pahit dari pahitnya kemiskinan. Bagaimana tidak, ayah saya dulunya seorang arsitek yang cukup berprestasi walaupun hanya lulusan SMA dan terlahir dari keluarga sederhana yang mempunyai banyak anak, tapi pendidikan sebatas itu sudah sangat lumayan di masa itu. Ditambah lagi dengan kecerdasannya (yang orang-orang bilang menurun ke saya) memberikan janji kesuksesan di masa yang akan datang. Akan tetapi, rencana dan prediksi tidaklah seindah kenyataan yang akan dihadapi, mau tahu kenapa? Karena dilandasi keirian dan ketakutan akan tersaingi dan tergeser dari jabatan, atasan ayah saya (jika tidak salah supervisornya) dengan semena-mena memfitnahnya habis-habisan, hingga membuat ayah saya diPHK dari pekerjaannya. Kejam? Tentu saja iya! Jika saya ditanya apakah saya dendam atau tidak, dengan senang hati akan saya jawab “Jika membunuh itu halal, maka akan saya cari dia”, tapi saya tidak berpikiran untuk mewujudkannya. Karena tahu mengapa? Saya percaya bahwa orang itu akan terkena imbasnya sendiri, dan saya percaya bahwa cara ALLAH membalas itu sangat menyakitkan. Jadi, jika ada yang menyakitkan, kenapa harus cari yang lebih susah! Jika tadi dari segi ayah saya, maka kali ini akan saya ceritakan dari segi ibu saya. Aslinya ibu saya orang yang berada. Tapi karena keirian dan keserakahan dari seseoranglah yang membuat hidupnya jatuh-sejatuhnya. Nenek saya yang saat itu memiliki (sekitar) 8 anak harus menelan pil pahit saat mendapati kenyataan jika suaminya telah meninggal dunia, dan lebih menderitanya lagi, harta-harta warisan dari sang suami yang berupa perusahaan-perusahaan ludes diambil orang (yang saya tahu adalah keponakan kakek saya sendiri) hingga tiada satupun yang bersisa kecuali rumah yang ditempati, itupun juga hampir ludes karena dijual istri dari adik nenek saya, hanya saja masih ada sisa yang diberi orang tersebut ke nenek saya, sehingga masih ada uang untuk nenek saya membeli rumah dan untuk modal menyambung hidupnya dan anak-anaknya. Sayangnya, nenek saya tidak terlalu mengambil pusing / mengambil tindakan lebih lanjut untuk menindak-lanjuti orang-orang yang mengambil semua hartanya, alhasil mereka harus hidup dengan uang seadanya. Seperti layaknya anak Sumatera pada umumnya, ibu saya memutuskan untuk merantau ke Bandung, dan disanalah ayah dan ibu saya bertemu, dan disanalah tempat saya lahir. Ayah saya yang saat itu baru bertemu ibu saya, langsung terpesona dan memutuskan untuk menikahi ibu saya walaupun ibu saya tidak terlalu yakin dengan pernikahan itu. Dan begitulah asal-usul keluarga saya.
Saya tidak terlalu ingat tentang diri saya pada saat lahir hingga umur 3 tahun, karena lazimnya memang begitu. Akan tetapi, pada saat usia saya tiga tahun, saya hanya sedikit mengingat tentang diri saya, saya waktu itu tinggal di sebuah rumah bertingkat yang mana saya sekeluarga tinggal diatas, dan keluarga lain tinggal di bawah. Unik? Pastinya! Dan memang demikian kenyataannya. Saya ingat pada saat itu disuatu pagi saya dan ayah saya sedang dalam perjalanan untuk membeli nasi uduk, dan kami melewati suatu jalan yang menurun yang terkenal licin. Saya ingat pada saat itu kami berdua terpeleset dan terperosot di turunan itu seperti orang yang sedang bermain perosotan, alhasil nasi uduk kami dapat beserta luka-luka lecet bekas terperosot tadi, dan kami pulang dalam keadaan berdarah dan membuat ibu saya harus mengobati kami. Setidaknya, saat itu kami masih bersama. Walaupun tanpa harta berlimpah, kami masih hidup bahagia dengan kesederhanaan. Setidaknya itulah ingatan pertama saya.
Saya tumbuh lazimnya anak biasa yang seusia saya, bermain, belajar, dan menikmati masa kecil walaupun itu tidak berlangsung lama. Saya tumbuh dengan beberapa kelebihan, saya jauh lebih aktif daripada anak-anak seumuran saya (walaupun itu tidak berlangsung lama juga), saya sudah bisa membaca mulai dari umur 3 tahun. Ajaib? Memang benar! Sayapun merasa heran dengan hal itu. Dan itu juga yang menjadi sebab mengapa saya tidak dimasukan ke TK, dan langsung masuk SD dengan usia yang sangat muda (karena pada saat itu masuk TK belum diwajibkan). Akan tetapi, semua keajaiban itu tidak berarti karena semua mulai berubah. Mulai usia sekitar empat tahun, kesetiaan dari ibu saya berubah dan menjadi penyebab awal dari runtuhnya keluarga saya. Entah karena sekedar hasrat, entah karena memang ingin membantu keuangan keluarga saya yang saat itu sedang parah-parahnya karena belum punya pekerjaan jelas. Saya yang sedari kecil tidak mengerti apa-apa, hanya bisa mengikuti alur kehidupan, tanpa tahu apa arti sebenarnya kehidupan. Saya yang sedari kecil ingin sekali sekolah namun belum waktunya, sering sekali memakai baju sekolah agar terasa seperti sedang sekolah. Sayangnya, hal itu membuat orang tua saya gerah hingga akhirnya mereka memasukan saya di suatu sekolah swasta dekat rumah, karena pada saat itu, sekolah negeri tidak menerima siswa dibawah umur 6 tahun, dan karena pada saat itu, sekolah swasta itulah yang paling murah di Bekasi yang pastinya sesuai dengan kantong keluarga saya. Akan tetapi, sangat disayangkan saya pernah sekolah disana, bukan karena tidak bersyukur, akan tetapi, sekolah itulah yang memberikan kenangan terburuk yang pernah saya alami. Bagaimana tidak? Sekarang bayangkan jika ada sekolah swasta murah yang tidak pernah memberikan persyaratan khusus untuk penerimaan siswa, bukankah memancing beraneka ragam keluarga yang ingin memasukan anaknya tanpa syarat khusus. Jadi, beraneka ragam orang dengan sifat mereka masing-masing masuk ke sekolah itu. Singkat cerita, saya menjalani masa SD saya dengan lancar, ditambah kelahiran adik saya pada saat saya kelas 1 dan kemudian pada saat kelas 2. Hanya saja, itu hanya berlangsung sebentar. Karena masa SD yang indah hanya berlangsung sampai saya kelas 2. Ayah dan ibu saya bercerai pada saat saya kelas 2 karena ayah saya memergoki ibu saya sedang bersama orang lain, hingga beberapa kali memicu pertengkaran, dan akhirnya mereka bercerai. Saya yang tidak mengerti apapun saat itu, dipaksa untuk ikut ibu saya tinggal bersama ayah baru saya. Awal mereka menunjukan perselingkuhannya waktu saya masih kelas 2. Saya yang tidak mengerti apa-apa saat itu hanya bisa mengangguk saat ibu saya bilang “setelah menikah dengan ayah saya, ibu saya menikah lagi dengan orang lain”. Terasa aneh bukan? Tapi apa daya saat itu saya masih kecil dan masih belum mengerti apapun. Dan kata-kata itu adalah kata pertama ibu saya membodoh-bodohi saya, hingga akhirnya pembodoh-bodohan itu terus berlanjut hingga saya dewasa. Ayah yang tidak tegas, ibu yang mendidik semau perutnya saja, akhirnya membuat saya tumbuh menjadi anak yang berbeda dari yang lain. Anak yang tidak mengerti apa itu dipermalukan, apa itu ditindas, apa itu rasa tersinggung, apa itu rasa malu, dan tidak mengerti segala hal. Yang saya mengerti hanya mengikuti apapun yang ibu saya katakan, walaupun tidak ada satupun didikan yang dia berikan di dalam hidup saya. Entah saya yang bodoh, entah saya yang terlalu penurut terhadap orang tua. Yupz! Sudah bisa disimpulkan, bahwa saya tumbuh besar dengan masa kecil yang kelam. Masa kecil yang seharusnya saya dibimbing oleh orang tua agar selalu berada di jalan yang benar. Masa kecil yang seharusnya saya bisa merasakan apa itu kehangatan keluarga. Kandas begitu saja karena ulah orang tua seperti mereka. Saya bak robot remote kontrol yang hanya mengikuti perintah dari orang yang menggerakkan. Sebetulnya saya selalu terdorong untuk ikut ayah saya ketika dia menjemput saya di sekolah. Entahlah, mungkin itu insting seorang anak kecil yang sadar akan siapa yang sebetulnya berhati baik. Tapi tatkala saya sedang di rumah ayah dan ayah sedang pergi bekerja, ibu saya selalu menemukan cara untuk membawa saya kembali ke rumahnya. Dan saya sebagai anak yang sangat patuh atau mungkin bodoh selalu termakan bujuk rayunya, hingga kejadian itu terus berulang dan pada akhirnya saya lelah untuk mengulangi kejadian itu. Dan akhirnya pasrah untuk ikut ibu. Ayah tiri sayapun sebetulnya bukan lelaki pertama yang dikenalkan kepada saya, namun pada akhirnya dialah yang berhasil menikahi ibu saya, paska cerai dengan ayah saya. Dan pada saat itu, saya sering dipertontonkan hal-hal yang tidak pantas dipertontonkan di hadapan anak kecil. Jika mau bertanya tentang masa kecil saya, maka akan saya jawab saya sudah kehilangan masa kecil. Hingga lulus SD, saya hanya mempunyai 1 orang yang benar-benar teman saya. Sisanya, hanya menganggap saya sebagai samsak. Yupz! Saya menjadi korban bully pada masa SD, bahkan lebih parahnya saya hanya menjadi bahan pukulan dari teman-teman SD saya, hingga pernah satu kali ginjal saya terancam. Kenapa bisa demikian? Karena didikan orang tua mereka berbeda dengan didikan orang tua saya. Mereka tumbuh dengan sifat normal dan saya tumbuh dengan sifat berbeda. Hal itulah yang membuat mereka tertarik untuk terus mencari masalah dengan saya. Dan tatkala saya coba membalas, malah saya habis dikeroyoki oleh mereka. Pasti anda bertanya, kemana para guru??? Saya hanya bisa menjawab, Bullshit buat mereka. Bagaimana tidak, yang menjahili saya jika bukan anak mereka, saudara mereka. Kadang saya merasa lelah jika mengadu ke dewan guru, karena pasti hanya peringatan yang berbentuk kata-kata saja yang keluar dari mulut mereka untuk menindak-lanjuti para pembully itu, alhasil, tidak ada yang kapok dengan peringatan itu. Terkadang saya coba mengadukannya ke ibu saya, yah kadang-kadang memang ditanggapi oleh guru dan para pembully, tapi julukan tukang mengadu menjadi daftar tambahan mereka dalam membully saya. Soal prestasi, jangan tanya! Orang tua yang tidak pernah membimbing untuk belajar dan meraih cita-cita + guru-guru yang kurang perhatian dan menganggap saya yang komunikasinya kurang ini sebagai anak bandel + suasana sekolah yang sederhana + teman-teman yang demikian = menghancurkan prestasi saya, yupz! Prestasi saya semakin menurun seiring kenaikan kelas. Mungkin saya ingin tambahkan soal guru-guru, memang tidak semuanya yang membela para pembully, memang ada beberapa yang membela saya namun memang ada beberapa yang berpembawaan lembut yang hanya bisa mendidik dengan cara yang baik, akan tetapi karena komunikasi atau cara saya berhubungan dengan sekitar yang berbeda membuat mereka yang tidak memihak pembully tapi kurang perhatian kepada para murid menganggap saya termasuk kalangan anak yang bandel yang suka cari masalah, walaupun tidak semua guru demikian. Ngomong-ngomong soal teman SD saya yang notabene doyan ngebully, jangan harap mereka bisa hidup tenang, mohon maaf sebelumnya jika saya harus katakan hidup mereka tragis. Karena beberapa orang yang saya temui di masa sekarang ada yang menjadi preman pangkalan, ada yang menjadi pengamen yang beriring kata-kata “lebih baik saya mengamen daripada saya bla…bla…bla…” dan ada beberapa lagi kisah sedih lainnya dari mereka. Sedih? Tidak. Senang? Mungkin. Ingin tertawa? Pastinya. Tapi kita jangan seperti itu, karena kita belum tahu pasti bagaimana kita nanti. Maka dari itulah, hiduplah untuk masa depanmu dan jangan terbuai untuk menikmati masa sekarangmu, apalagi dengan mengorbankan orang lain. Karena ingatlah! Hidup terus berjalan dan masa depan terus terukir dari perbuatanmu sekarang.
Tapi pada akhirnya saya menyadari bahwa saya sudah kehilangan masa kecil saya, karena semua perbuatan orang di sekitar saya.
Masa SMP
Mohon maaf jika cerita ini saya persingkat, karena kebetulan saya dikejar deadline (sok kayak penulis terkenal aja yah!!! Hehehe). Masa SMP saya tidak terlalu berbeda dengan masa SD saya. Karena kebetulan saya masih bersekolah di tempat yang sama dikarenakan keterbatasan biaya. Semua berjalan hampir sama seperti saat saya SD. Hanya saja, kali ini tidak ada keroyokan untuk saya. Selain itu, tidak ada yang berubah. Sayangnya, teman saya yang terdekat satu-satunya saat SD memutuskan untuk bersekolah di tempat yang berbeda. Yah, pastinya saya merasa sepi karena tak ada dia. Walaupun dia tak selalu membela saya saat sedang dibully (gila aja kali ngebelain orang yang lagi dikeroyok, hehehe), walaupun kami tak selalu akur, dan walaupun kami tidak instant saat bertemu langsung berteman, tapi dia yang selalu ada saat saya sedang membutuhkan. So, buat Nana Sutrisna yang sekarang sudah berisri dan punya anak, semoga anda selalu baik-baik saja dimanapun anda berada. Singkat cerita, hubungan saya dengan teman-teman saya sedikit membaik. Yah, walaupun saya harus mendekati mereka dengan mengaku-ngaku orang kaya dan walaupun mereka rata-rata dekat dengan saya karena ingin memanfaatkan saya, hubungan saya sedikit lebih baik dengan mereka, yah walaupun pada akhirnya saya ketahuan berbohong sih, hehehe (secara mana ada anak orang kaya sekolah di sekolah orang sederhana). Walaupun tak jarang konflik terjadi diantara kami. Soal keluarga, orang tua saya memutuskan untuk mengurus kami bergantian, antara malam dan siang. Walau tak jarang ibu saya menyuruh saya untuk meminta uang ayah saya dan setelah itu mengambilnya dan walaupun saya juga jarang bertemu ayah karena beliau lebih sering meyibukan diri di kantor. Akan tetapi, semenjak kecil saya tidak pernah dibolehkan untuk keluar rumah oleh ibu saya, alhasil saya jarang sekali bergaul, ditambah lagi di rumah jarang ada orang, dan jika ada yang ada hanya untuk memarahi saya jika saya malas berakting ke ayah saya bahwa saya meminta uangnya untuk biaya ibu saya dan suaminya, berakting bahwa banyak bayaran sekolah yang belum terbayarkan. Dan karena itulah, ayah saya jarang mengajak saya dan adik saya jalan-jalan saat libur, karena jika kami jalan-jalan saya selalu merengek minta uang untuk bayaran (tentu saja atas perintah ibu saya). Saya hampir lupa semenjak kelahiran adik saya yang kedua, ayah saya sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai staff di suatu kantor pengiriman barang. Soal prestasi jangan tanya. Saya hampir selalu menjadi peringkat terakhir di kelas. Jika orang-orang mendapat nilai total di rapot dengan jumlah diatas 100, maka saya selalu mendapatkan total nilai dibawah 100. Maka dari itu, orang tua saya mengira saya anak yang sangat bodoh dan belum tahu akan jadi apa nantinya. Saya selalu ingat dengan 1 kata dari teman saya, “ntar klo gua SMA, gua bakal pilih SMA yang bagus. Yang jelas gua ogah satu SMA sama dia (sambil menunjuk ke arah saya), udah SD bareng, SMP bareng, males gua SMA bareng juga sama dia”. Dan pada akhirnya, saya mendengar bahwa dia tidak meneruskan ke SMA dan mendapatkan pekerjaan yang terbilang sangat sederhana. Begitupun dengan teman-teman jail saya yang lain. Banyak yang tidak bisa meneruskan ke SMA dengan berbagai faktor.
Masa SMA
Di masa SMA orang tua saya yang menganggap saya kurang taat pada agama, apalagi malas dalam menjalankan sholat. Memutuskan untuk memasukan saya ke pesantren. Dan disinilah awal kemajuan diri saya dimulai. Memang ada yang tidak berubah dalam masa ini, tapi setidaknya di masa ini saya sudah mulai mendapatkan teman. Pada masa ini saya mulai mengurus diri saya sendiri, karena saya terlepas dari orang tua. Terlebih lagi, saya sadar bahwa saya selama ini jauh dari ALLAH SWT, dan saya mulai mendekatkan diri kepada-NYA, yang mengakibatkan kemajuan pada diri saya dan kehidupan saya. Alhasil, saya sadar jika semua didikan yang orang tua saya berikan selama ini adalah salah. Walaupun saya mulai membenarkan apa yang salah pada diri saya, saya masih sering sekali dibully, bahkan tak jarang saya dipermalukan di depan umum oleh orang di sekitar saya. Setidaknya ada yang berbeda pada saat SMA, seperti soal teman, guru, prestasi, dll. Soal teman, saya mulai punya beberapa teman yang tulus terhadap saya, yang membantu saya dalam menjalani masa-masa saya di sana dan membantu saya yang sedang membenahi diri, sayapun mendapatkan sahabat yang paling dekat di hidup saya, sebutlah namanya Yuki P., dia yang paling berperan dalam mengubah diri saya, yang tadinya saya labil, egois, pemarah, hingga akhirnya berkat kesabaran dia serta sahabat saya yang lainnya saya bisa mulai berubah. Soal guru, ini untuk pertama kalinya ada guru yang menyayangi saya tulus apa adanya. Ada beberapa guru yang percaya bahwa walaupun saya kurang dalam berkomunikasi, saya tidaklah bandel. Merekalah juga yang membat saya merasa dipercaya, dan pada akhirnya mereka benar-benar mendidik saya hingga saya bisa mendapatkan prestasi, terutama dua guru yang paling memperhatikan saya, yang paling mendidik dan mendkung saya, serta selalu percaya kepada saya, kedua guru yang bernama Faishal Hakim. H. dan Maulana Zulal Noor (yang baru dua tahun lalu meninggal). Soal prestasi, alhamduLILLAH prestasi saya semakin lama semakin menaik, karena saya mulai suka belajar. Pada akhirnya saya berhasil mendapatkan gelar “The Best 1” dari ketiga “The Best” yang berarti penguasaan Bahasa Arab dan prestasinya paling tinggi, gelar yang bahkan sulit didapatkan oleh orang yang bersekolah semenjak SD di sana. Gelar yang bisa menjadi tiket bagi orang yang ingin melanjutkan kuliah di Mesir. Dan sayapun dikirim di beberapa lomba, dan berhasil menyabet gelar juara di beberapa lomba. Dan yang paling mengesankan, saya pernah berhasil mendapatkan Juara 1 pada lomba membaca kitab kuning dan berhasil mengalahkan beberapa sekolah saingan sekolah kami. Juara 1 yang pertama kalinya didapatkan oleh sekolah kami yang beberapa puluh tahun ini tidak bisa didapatkan oleh sekolah kami.
Masa-masa setelah SMA saya biasa, hanya saja saya pernah berkuliah 2 semester di Institut Sholahuddin Al-Ayyubi Jurusan Sastra Arab atas recommend dari SMA saya, kebetulan saya mendapatkan beasiswa di sana selama dua semester, namun karena ibu saya tidak pernah tertarik untuk saya terjun ke dunia agama, maka kuliah saya dan beasiswa saya ke Mesir tidak dilanjutkan.
Saya sering kursus pada masa itu, di samping sambil mengajar di salah satu laboratorium komputer, karena saya belum ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Saya ingin bekerja lebih, hanya saja ibu saya tidak setuju, Karena dia tidak ingin menyia-nyiakan otak saya. Itulah satu-satunya hal yang terbaik dari ibu saya, dia tidak akan menyia-nyiakan otak saya, serta tidak akan membiarkan anak-anaknya putus sekolah sebelum SMA. Karena pada masa saya SMA, saya hampir putus sekolah, dikarenakan suami ibu saya yang baru. Selama masa saya sampai SMA, ibu saya sering berganti pria, tapi baru tiga kali dia menikah (walaupun mungkin belum tentu melakukan hal yang tidak-tidak). Maka dari itu juga saya belum bisa melanjutkan kuliah, karena kami menghabiskan waktu untuk memenuhi keinginan dari suami ibu saya, terutama dari segi keuangan, yupz! Kami habis-habisan memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang baru satu bulanan dikenal ibu saya namun langsung dinikahinya tanpa tau asal-usul yang jelas tentang dia. Orang yang membuat kami bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Orang yang membuat ibu saya harus berhutang kemana-mana untuk membiayai suaminya, sehingga hutang-hutang tersebut masih belum lunas sampai sekarang. Orang yang hampir sering membunuh saya, dan hampir memperkosa bahkan menjual adik-adik perempuan saya. Orang yang hampir membuat saya putus sekolah. Orang yang membuat saya beserta keluarga saya tidak bisa membeli baju baru, sehingga kami harus memakai baju-baju sempit. Orang yang semena-mena memukuli bahkan menyiksa ibu saya. Orang yang saya sebut “Dajjal Kecil” karena sama sekali tidak punya hati apalagi rasa kasihan. Saya bersyukur karena sekitar empat tahun yang lalu dia kembali ke kampungnya di Aceh, dan sampai sekarang tidak kembali. Tapi, sisa-sisa kebrutalannya membuat kami harus melunasi semua hutang-hutangnya serta semua perbuatannya. Ibu saya akhirnya sadar dari perburuannya atas para lelaki, serta mungkin menyesal atas semua perbuatannya terhadap anak-anaknya, dan sampai sekarang selalu berusaha membuat anaknya senang walaupun masih sering membuat kami stress dengan perbuatannya.
Soal masalah cinta, saya beberapa kali dengan dengan beberapa wanita, hanya saja saya belum sampai pernah berpacaran sampai sekarang. Namun ketika pertama kalinya saya jatuh cinta, itu pada saat saya mengambil kursus setelah lulus SMA, dia teman kursus saya yang bernama Sucika A. wanita tercantik yang pernah saya lihat di hidup saya. Wanita yang disukai oleh banyak pria. Namun karena ketidak-percayaan diri saya atas ekonomi dan masalah keluarga saya, saya tidak pernah mengungkapkan perasaan saya kepadanya.
Soal pekerjaan, saya beberapa kali bekerja di beberapa tempat dan pada akhirnya keluar.
Soal ayah saya, sebetulnya pada saat saya lulus SMA saya tinggal dengan ayah saya, dan ibu saya tinggal dengan suaminya, namun saat siang hari sampai sore hari dia pulang ke rumahnya. Namun sering suaminya berkunjung ke rumah kami dan membuat keributan. Ayah saya kurang tegas pada saat itu, sehingga mulai dari SMA gajinya diurus oleh ibu saya, dengan dalih untuk anak. Padahal anak-anaknya tidak terlalu terpenuhi kebutuhannya. Pada saat 2 tahun setelah saya lulus SMA, ayah saya bertemu seorang wanita yang sering menjadi TKW dan pada akhirnya menikahinya. Sama seperti ibu saya, ayah saya belum terlalu mengenal wanita itu namun langsung menikahinya. Sepertinya memang bakat orang tua saya dalam membuat stress anan-anaknya. Apalagi ayah saya memang bakat dalam memilih wanita yang salah. Sebetulnya beberapa kali dia memilih wanita (yang hanya memelorotinya) sebagai teman wanitanya. Tapi anehnya, dia tidak pernah kapok dalam memilih wanita. Sama sekali tidak pernah belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Pada akhirnya ayah saya tinggal dengan istrinya, dan hanya sesekali menemui kami. Namun setiap kali ayah saya ketahuan menemui kami, wanita itu habis-habisan memarahi ayah saya. Wanita itu sering sekali bermain dukun dengan tujuan untuk mengguna-guna agar ayah saya tidak menemui kami, dan juga dengan tujuan untuk mengirim santet kepada kami (terutama saya dan ibu saya). Namun alhamduLILLAH ALLAH belum menghendaki kami untuk wafat, dan jadilah semua santet itu hilang. Akhirnya setahun yang lalu, ayah saya ikut wanita itu entah kemana, setelah ayah saya di PHK. Dan sampai sekarang, kami tidak pernah tahu bagaimana kabarnya.
Soal perkuliahan saya, alhamduLILLAH semuanya lancar. Walaupun kampus saya ada-ada saja kekurangannya. Apalagi dalam memberikan nilai. Jadilah nilai yang saya dapatkan tidak sesuai dengan kemampuan saya. Saya bisa kuliah setelah semua keadaan keluarga kami cukup stabil, disamping karena usia saya sudah terlalu tua jika tidak kuliah sekarang. Soal teman-teman perkuliahan saya, alhamduLILLAH semuanya sangat baik. Walaupun terkadang ada salah paham diantara kami, namun tidak pernah sekalipun kami sampai ribut apalagi tidak bertegur sapa. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik. Mereka orang-orang yang unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang selalu menjadi diri mereka sendiri tanpa pernah ada yang ditutup-tutupi. Dan yang utama mereka orang-orang yang serius menjalani kuliah mereka, terutama jika diberikan tugas, karena hampir tidak ada tugas yang mereka lewati, sesulit apapun tugas itu. Kami bersama-sama menjalani perkuliahan kami. Dan alhamduLILLAH kami sekarang sudah semester 3. Dan semakin lama, kami semakin kompak dalam menjalani perkuliahan kami. Harapan saya, kami bisa bersama-sama lulus dan menjadi sarjana.
Masa-masa sebelum sekolah
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Nama saya Muhammad Shiddiq Andina Aris, tapi karena kesalahan penulisan di surat kelahiran dan kartu keluarga, nama saya dipotong menjadi M. Sidik. Saya lahir di Bandung Tanggal 8 Juni 1990, dan yap, saya berumur 25 tahun sekarang. Saya anak pertama dari empat bersaudara, seperti yang orang bilang bahwa menjadi anak pertama itu beban dan sulit karena harus menjaga semua adik-adiknya dan karena harus menjadi contoh dan panutan dari adik-adiknya. Dan jika bisa saya tambahkan, sangat sulit juga karena pada saat anak pertama lahir, para orang tua masih baru belajar untuk mendidik, sehingga bagaimanapun sifat dari orang tua saat itu, anak pertama tidak bisa menentang dan harus menerima, meskipun pada saat itu orang tua sedang labil-labilnya dan masih perlu beradaptasi dalam mendidik anak. Mengapa saya katakan demikian? Karena itulah yang saya alami selama ini. Jika anda penasaran, maka kita lanjutkan pada cerita berikut, dan saya yakin anda pasti akan mengerti kenapa saya berkata demikian.
Masa-masa saat saya masih bayi sampai umur 3 tahun saya tidak terlalu ingat, karena pastinya saat itu saya belum bisa mengerti dan mengingat apapun itu. Yang jelas, saya mendengar dari orang tua saya bahwa saya lahir di Bandung dalam keadaan yang sangat sederhana, atau yang biasa dikatakan “miskin”. Saya mendengar dari ibu saya bahwa sebenarnya kami orang yang cukup ada(meskipun bukan orang yang cukup berada), tapi karena suatu keirian dari orang lain kami harus menelan pil pahit dari pahitnya kemiskinan. Bagaimana tidak, ayah saya dulunya seorang arsitek yang cukup berprestasi walaupun hanya lulusan SMA dan terlahir dari keluarga sederhana yang mempunyai banyak anak, tapi pendidikan sebatas itu sudah sangat lumayan di masa itu. Ditambah lagi dengan kecerdasannya (yang orang-orang bilang menurun ke saya) memberikan janji kesuksesan di masa yang akan datang. Akan tetapi, rencana dan prediksi tidaklah seindah kenyataan yang akan dihadapi, mau tahu kenapa? Karena dilandasi keirian dan ketakutan akan tersaingi dan tergeser dari jabatan, atasan ayah saya (jika tidak salah supervisornya) dengan semena-mena memfitnahnya habis-habisan, hingga membuat ayah saya diPHK dari pekerjaannya. Kejam? Tentu saja iya! Jika saya ditanya apakah saya dendam atau tidak, dengan senang hati akan saya jawab “Jika membunuh itu halal, maka akan saya cari dia”, tapi saya tidak berpikiran untuk mewujudkannya. Karena tahu mengapa? Saya percaya bahwa orang itu akan terkena imbasnya sendiri, dan saya percaya bahwa cara ALLAH membalas itu sangat menyakitkan. Jadi, jika ada yang menyakitkan, kenapa harus cari yang lebih susah! Jika tadi dari segi ayah saya, maka kali ini akan saya ceritakan dari segi ibu saya. Aslinya ibu saya orang yang berada. Tapi karena keirian dan keserakahan dari seseoranglah yang membuat hidupnya jatuh-sejatuhnya. Nenek saya yang saat itu memiliki (sekitar) 8 anak harus menelan pil pahit saat mendapati kenyataan jika suaminya telah meninggal dunia, dan lebih menderitanya lagi, harta-harta warisan dari sang suami yang berupa perusahaan-perusahaan ludes diambil orang (yang saya tahu adalah keponakan kakek saya sendiri) hingga tiada satupun yang bersisa kecuali rumah yang ditempati, itupun juga hampir ludes karena dijual istri dari adik nenek saya, hanya saja masih ada sisa yang diberi orang tersebut ke nenek saya, sehingga masih ada uang untuk nenek saya membeli rumah dan untuk modal menyambung hidupnya dan anak-anaknya. Sayangnya, nenek saya tidak terlalu mengambil pusing / mengambil tindakan lebih lanjut untuk menindak-lanjuti orang-orang yang mengambil semua hartanya, alhasil mereka harus hidup dengan uang seadanya. Seperti layaknya anak Sumatera pada umumnya, ibu saya memutuskan untuk merantau ke Bandung, dan disanalah ayah dan ibu saya bertemu, dan disanalah tempat saya lahir. Ayah saya yang saat itu baru bertemu ibu saya, langsung terpesona dan memutuskan untuk menikahi ibu saya walaupun ibu saya tidak terlalu yakin dengan pernikahan itu. Dan begitulah asal-usul keluarga saya.
Saya tidak terlalu ingat tentang diri saya pada saat lahir hingga umur 3 tahun, karena lazimnya memang begitu. Akan tetapi, pada saat usia saya tiga tahun, saya hanya sedikit mengingat tentang diri saya, saya waktu itu tinggal di sebuah rumah bertingkat yang mana saya sekeluarga tinggal diatas, dan keluarga lain tinggal di bawah. Unik? Pastinya! Dan memang demikian kenyataannya. Saya ingat pada saat itu disuatu pagi saya dan ayah saya sedang dalam perjalanan untuk membeli nasi uduk, dan kami melewati suatu jalan yang menurun yang terkenal licin. Saya ingat pada saat itu kami berdua terpeleset dan terperosot di turunan itu seperti orang yang sedang bermain perosotan, alhasil nasi uduk kami dapat beserta luka-luka lecet bekas terperosot tadi, dan kami pulang dalam keadaan berdarah dan membuat ibu saya harus mengobati kami. Setidaknya, saat itu kami masih bersama. Walaupun tanpa harta berlimpah, kami masih hidup bahagia dengan kesederhanaan. Setidaknya itulah ingatan pertama saya.
Saya tumbuh lazimnya anak biasa yang seusia saya, bermain, belajar, dan menikmati masa kecil walaupun itu tidak berlangsung lama. Saya tumbuh dengan beberapa kelebihan, saya jauh lebih aktif daripada anak-anak seumuran saya (walaupun itu tidak berlangsung lama juga), saya sudah bisa membaca mulai dari umur 3 tahun. Ajaib? Memang benar! Sayapun merasa heran dengan hal itu. Dan itu juga yang menjadi sebab mengapa saya tidak dimasukan ke TK, dan langsung masuk SD dengan usia yang sangat muda (karena pada saat itu masuk TK belum diwajibkan). Akan tetapi, semua keajaiban itu tidak berarti karena semua mulai berubah. Mulai usia sekitar empat tahun, kesetiaan dari ibu saya berubah dan menjadi penyebab awal dari runtuhnya keluarga saya. Entah karena sekedar hasrat, entah karena memang ingin membantu keuangan keluarga saya yang saat itu sedang parah-parahnya karena belum punya pekerjaan jelas. Saya yang sedari kecil tidak mengerti apa-apa, hanya bisa mengikuti alur kehidupan, tanpa tahu apa arti sebenarnya kehidupan. Saya yang sedari kecil ingin sekali sekolah namun belum waktunya, sering sekali memakai baju sekolah agar terasa seperti sedang sekolah. Sayangnya, hal itu membuat orang tua saya gerah hingga akhirnya mereka memasukan saya di suatu sekolah swasta dekat rumah, karena pada saat itu, sekolah negeri tidak menerima siswa dibawah umur 6 tahun, dan karena pada saat itu, sekolah swasta itulah yang paling murah di Bekasi yang pastinya sesuai dengan kantong keluarga saya. Akan tetapi, sangat disayangkan saya pernah sekolah disana, bukan karena tidak bersyukur, akan tetapi, sekolah itulah yang memberikan kenangan terburuk yang pernah saya alami. Bagaimana tidak? Sekarang bayangkan jika ada sekolah swasta murah yang tidak pernah memberikan persyaratan khusus untuk penerimaan siswa, bukankah memancing beraneka ragam keluarga yang ingin memasukan anaknya tanpa syarat khusus. Jadi, beraneka ragam orang dengan sifat mereka masing-masing masuk ke sekolah itu. Singkat cerita, saya menjalani masa SD saya dengan lancar, ditambah kelahiran adik saya pada saat saya kelas 1 dan kemudian pada saat kelas 2. Hanya saja, itu hanya berlangsung sebentar. Karena masa SD yang indah hanya berlangsung sampai saya kelas 2. Ayah dan ibu saya bercerai pada saat saya kelas 2 karena ayah saya memergoki ibu saya sedang bersama orang lain, hingga beberapa kali memicu pertengkaran, dan akhirnya mereka bercerai. Saya yang tidak mengerti apapun saat itu, dipaksa untuk ikut ibu saya tinggal bersama ayah baru saya. Awal mereka menunjukan perselingkuhannya waktu saya masih kelas 2. Saya yang tidak mengerti apa-apa saat itu hanya bisa mengangguk saat ibu saya bilang “setelah menikah dengan ayah saya, ibu saya menikah lagi dengan orang lain”. Terasa aneh bukan? Tapi apa daya saat itu saya masih kecil dan masih belum mengerti apapun. Dan kata-kata itu adalah kata pertama ibu saya membodoh-bodohi saya, hingga akhirnya pembodoh-bodohan itu terus berlanjut hingga saya dewasa. Ayah yang tidak tegas, ibu yang mendidik semau perutnya saja, akhirnya membuat saya tumbuh menjadi anak yang berbeda dari yang lain. Anak yang tidak mengerti apa itu dipermalukan, apa itu ditindas, apa itu rasa tersinggung, apa itu rasa malu, dan tidak mengerti segala hal. Yang saya mengerti hanya mengikuti apapun yang ibu saya katakan, walaupun tidak ada satupun didikan yang dia berikan di dalam hidup saya. Entah saya yang bodoh, entah saya yang terlalu penurut terhadap orang tua. Yupz! Sudah bisa disimpulkan, bahwa saya tumbuh besar dengan masa kecil yang kelam. Masa kecil yang seharusnya saya dibimbing oleh orang tua agar selalu berada di jalan yang benar. Masa kecil yang seharusnya saya bisa merasakan apa itu kehangatan keluarga. Kandas begitu saja karena ulah orang tua seperti mereka. Saya bak robot remote kontrol yang hanya mengikuti perintah dari orang yang menggerakkan. Sebetulnya saya selalu terdorong untuk ikut ayah saya ketika dia menjemput saya di sekolah. Entahlah, mungkin itu insting seorang anak kecil yang sadar akan siapa yang sebetulnya berhati baik. Tapi tatkala saya sedang di rumah ayah dan ayah sedang pergi bekerja, ibu saya selalu menemukan cara untuk membawa saya kembali ke rumahnya. Dan saya sebagai anak yang sangat patuh atau mungkin bodoh selalu termakan bujuk rayunya, hingga kejadian itu terus berulang dan pada akhirnya saya lelah untuk mengulangi kejadian itu. Dan akhirnya pasrah untuk ikut ibu. Ayah tiri sayapun sebetulnya bukan lelaki pertama yang dikenalkan kepada saya, namun pada akhirnya dialah yang berhasil menikahi ibu saya, paska cerai dengan ayah saya. Dan pada saat itu, saya sering dipertontonkan hal-hal yang tidak pantas dipertontonkan di hadapan anak kecil. Jika mau bertanya tentang masa kecil saya, maka akan saya jawab saya sudah kehilangan masa kecil. Hingga lulus SD, saya hanya mempunyai 1 orang yang benar-benar teman saya. Sisanya, hanya menganggap saya sebagai samsak. Yupz! Saya menjadi korban bully pada masa SD, bahkan lebih parahnya saya hanya menjadi bahan pukulan dari teman-teman SD saya, hingga pernah satu kali ginjal saya terancam. Kenapa bisa demikian? Karena didikan orang tua mereka berbeda dengan didikan orang tua saya. Mereka tumbuh dengan sifat normal dan saya tumbuh dengan sifat berbeda. Hal itulah yang membuat mereka tertarik untuk terus mencari masalah dengan saya. Dan tatkala saya coba membalas, malah saya habis dikeroyoki oleh mereka. Pasti anda bertanya, kemana para guru??? Saya hanya bisa menjawab, Bullshit buat mereka. Bagaimana tidak, yang menjahili saya jika bukan anak mereka, saudara mereka. Kadang saya merasa lelah jika mengadu ke dewan guru, karena pasti hanya peringatan yang berbentuk kata-kata saja yang keluar dari mulut mereka untuk menindak-lanjuti para pembully itu, alhasil, tidak ada yang kapok dengan peringatan itu. Terkadang saya coba mengadukannya ke ibu saya, yah kadang-kadang memang ditanggapi oleh guru dan para pembully, tapi julukan tukang mengadu menjadi daftar tambahan mereka dalam membully saya. Soal prestasi, jangan tanya! Orang tua yang tidak pernah membimbing untuk belajar dan meraih cita-cita + guru-guru yang kurang perhatian dan menganggap saya yang komunikasinya kurang ini sebagai anak bandel + suasana sekolah yang sederhana + teman-teman yang demikian = menghancurkan prestasi saya, yupz! Prestasi saya semakin menurun seiring kenaikan kelas. Mungkin saya ingin tambahkan soal guru-guru, memang tidak semuanya yang membela para pembully, memang ada beberapa yang membela saya namun memang ada beberapa yang berpembawaan lembut yang hanya bisa mendidik dengan cara yang baik, akan tetapi karena komunikasi atau cara saya berhubungan dengan sekitar yang berbeda membuat mereka yang tidak memihak pembully tapi kurang perhatian kepada para murid menganggap saya termasuk kalangan anak yang bandel yang suka cari masalah, walaupun tidak semua guru demikian. Ngomong-ngomong soal teman SD saya yang notabene doyan ngebully, jangan harap mereka bisa hidup tenang, mohon maaf sebelumnya jika saya harus katakan hidup mereka tragis. Karena beberapa orang yang saya temui di masa sekarang ada yang menjadi preman pangkalan, ada yang menjadi pengamen yang beriring kata-kata “lebih baik saya mengamen daripada saya bla…bla…bla…” dan ada beberapa lagi kisah sedih lainnya dari mereka. Sedih? Tidak. Senang? Mungkin. Ingin tertawa? Pastinya. Tapi kita jangan seperti itu, karena kita belum tahu pasti bagaimana kita nanti. Maka dari itulah, hiduplah untuk masa depanmu dan jangan terbuai untuk menikmati masa sekarangmu, apalagi dengan mengorbankan orang lain. Karena ingatlah! Hidup terus berjalan dan masa depan terus terukir dari perbuatanmu sekarang.
Tapi pada akhirnya saya menyadari bahwa saya sudah kehilangan masa kecil saya, karena semua perbuatan orang di sekitar saya.
Masa SMP
Mohon maaf jika cerita ini saya persingkat, karena kebetulan saya dikejar deadline (sok kayak penulis terkenal aja yah!!! Hehehe). Masa SMP saya tidak terlalu berbeda dengan masa SD saya. Karena kebetulan saya masih bersekolah di tempat yang sama dikarenakan keterbatasan biaya. Semua berjalan hampir sama seperti saat saya SD. Hanya saja, kali ini tidak ada keroyokan untuk saya. Selain itu, tidak ada yang berubah. Sayangnya, teman saya yang terdekat satu-satunya saat SD memutuskan untuk bersekolah di tempat yang berbeda. Yah, pastinya saya merasa sepi karena tak ada dia. Walaupun dia tak selalu membela saya saat sedang dibully (gila aja kali ngebelain orang yang lagi dikeroyok, hehehe), walaupun kami tak selalu akur, dan walaupun kami tidak instant saat bertemu langsung berteman, tapi dia yang selalu ada saat saya sedang membutuhkan. So, buat Nana Sutrisna yang sekarang sudah berisri dan punya anak, semoga anda selalu baik-baik saja dimanapun anda berada. Singkat cerita, hubungan saya dengan teman-teman saya sedikit membaik. Yah, walaupun saya harus mendekati mereka dengan mengaku-ngaku orang kaya dan walaupun mereka rata-rata dekat dengan saya karena ingin memanfaatkan saya, hubungan saya sedikit lebih baik dengan mereka, yah walaupun pada akhirnya saya ketahuan berbohong sih, hehehe (secara mana ada anak orang kaya sekolah di sekolah orang sederhana). Walaupun tak jarang konflik terjadi diantara kami. Soal keluarga, orang tua saya memutuskan untuk mengurus kami bergantian, antara malam dan siang. Walau tak jarang ibu saya menyuruh saya untuk meminta uang ayah saya dan setelah itu mengambilnya dan walaupun saya juga jarang bertemu ayah karena beliau lebih sering meyibukan diri di kantor. Akan tetapi, semenjak kecil saya tidak pernah dibolehkan untuk keluar rumah oleh ibu saya, alhasil saya jarang sekali bergaul, ditambah lagi di rumah jarang ada orang, dan jika ada yang ada hanya untuk memarahi saya jika saya malas berakting ke ayah saya bahwa saya meminta uangnya untuk biaya ibu saya dan suaminya, berakting bahwa banyak bayaran sekolah yang belum terbayarkan. Dan karena itulah, ayah saya jarang mengajak saya dan adik saya jalan-jalan saat libur, karena jika kami jalan-jalan saya selalu merengek minta uang untuk bayaran (tentu saja atas perintah ibu saya). Saya hampir lupa semenjak kelahiran adik saya yang kedua, ayah saya sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai staff di suatu kantor pengiriman barang. Soal prestasi jangan tanya. Saya hampir selalu menjadi peringkat terakhir di kelas. Jika orang-orang mendapat nilai total di rapot dengan jumlah diatas 100, maka saya selalu mendapatkan total nilai dibawah 100. Maka dari itu, orang tua saya mengira saya anak yang sangat bodoh dan belum tahu akan jadi apa nantinya. Saya selalu ingat dengan 1 kata dari teman saya, “ntar klo gua SMA, gua bakal pilih SMA yang bagus. Yang jelas gua ogah satu SMA sama dia (sambil menunjuk ke arah saya), udah SD bareng, SMP bareng, males gua SMA bareng juga sama dia”. Dan pada akhirnya, saya mendengar bahwa dia tidak meneruskan ke SMA dan mendapatkan pekerjaan yang terbilang sangat sederhana. Begitupun dengan teman-teman jail saya yang lain. Banyak yang tidak bisa meneruskan ke SMA dengan berbagai faktor.
Masa SMA
Di masa SMA orang tua saya yang menganggap saya kurang taat pada agama, apalagi malas dalam menjalankan sholat. Memutuskan untuk memasukan saya ke pesantren. Dan disinilah awal kemajuan diri saya dimulai. Memang ada yang tidak berubah dalam masa ini, tapi setidaknya di masa ini saya sudah mulai mendapatkan teman. Pada masa ini saya mulai mengurus diri saya sendiri, karena saya terlepas dari orang tua. Terlebih lagi, saya sadar bahwa saya selama ini jauh dari ALLAH SWT, dan saya mulai mendekatkan diri kepada-NYA, yang mengakibatkan kemajuan pada diri saya dan kehidupan saya. Alhasil, saya sadar jika semua didikan yang orang tua saya berikan selama ini adalah salah. Walaupun saya mulai membenarkan apa yang salah pada diri saya, saya masih sering sekali dibully, bahkan tak jarang saya dipermalukan di depan umum oleh orang di sekitar saya. Setidaknya ada yang berbeda pada saat SMA, seperti soal teman, guru, prestasi, dll. Soal teman, saya mulai punya beberapa teman yang tulus terhadap saya, yang membantu saya dalam menjalani masa-masa saya di sana dan membantu saya yang sedang membenahi diri, sayapun mendapatkan sahabat yang paling dekat di hidup saya, sebutlah namanya Yuki P., dia yang paling berperan dalam mengubah diri saya, yang tadinya saya labil, egois, pemarah, hingga akhirnya berkat kesabaran dia serta sahabat saya yang lainnya saya bisa mulai berubah. Soal guru, ini untuk pertama kalinya ada guru yang menyayangi saya tulus apa adanya. Ada beberapa guru yang percaya bahwa walaupun saya kurang dalam berkomunikasi, saya tidaklah bandel. Merekalah juga yang membat saya merasa dipercaya, dan pada akhirnya mereka benar-benar mendidik saya hingga saya bisa mendapatkan prestasi, terutama dua guru yang paling memperhatikan saya, yang paling mendidik dan mendkung saya, serta selalu percaya kepada saya, kedua guru yang bernama Faishal Hakim. H. dan Maulana Zulal Noor (yang baru dua tahun lalu meninggal). Soal prestasi, alhamduLILLAH prestasi saya semakin lama semakin menaik, karena saya mulai suka belajar. Pada akhirnya saya berhasil mendapatkan gelar “The Best 1” dari ketiga “The Best” yang berarti penguasaan Bahasa Arab dan prestasinya paling tinggi, gelar yang bahkan sulit didapatkan oleh orang yang bersekolah semenjak SD di sana. Gelar yang bisa menjadi tiket bagi orang yang ingin melanjutkan kuliah di Mesir. Dan sayapun dikirim di beberapa lomba, dan berhasil menyabet gelar juara di beberapa lomba. Dan yang paling mengesankan, saya pernah berhasil mendapatkan Juara 1 pada lomba membaca kitab kuning dan berhasil mengalahkan beberapa sekolah saingan sekolah kami. Juara 1 yang pertama kalinya didapatkan oleh sekolah kami yang beberapa puluh tahun ini tidak bisa didapatkan oleh sekolah kami.
Masa-masa setelah SMA saya biasa, hanya saja saya pernah berkuliah 2 semester di Institut Sholahuddin Al-Ayyubi Jurusan Sastra Arab atas recommend dari SMA saya, kebetulan saya mendapatkan beasiswa di sana selama dua semester, namun karena ibu saya tidak pernah tertarik untuk saya terjun ke dunia agama, maka kuliah saya dan beasiswa saya ke Mesir tidak dilanjutkan.
Saya sering kursus pada masa itu, di samping sambil mengajar di salah satu laboratorium komputer, karena saya belum ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Saya ingin bekerja lebih, hanya saja ibu saya tidak setuju, Karena dia tidak ingin menyia-nyiakan otak saya. Itulah satu-satunya hal yang terbaik dari ibu saya, dia tidak akan menyia-nyiakan otak saya, serta tidak akan membiarkan anak-anaknya putus sekolah sebelum SMA. Karena pada masa saya SMA, saya hampir putus sekolah, dikarenakan suami ibu saya yang baru. Selama masa saya sampai SMA, ibu saya sering berganti pria, tapi baru tiga kali dia menikah (walaupun mungkin belum tentu melakukan hal yang tidak-tidak). Maka dari itu juga saya belum bisa melanjutkan kuliah, karena kami menghabiskan waktu untuk memenuhi keinginan dari suami ibu saya, terutama dari segi keuangan, yupz! Kami habis-habisan memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang baru satu bulanan dikenal ibu saya namun langsung dinikahinya tanpa tau asal-usul yang jelas tentang dia. Orang yang membuat kami bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Orang yang membuat ibu saya harus berhutang kemana-mana untuk membiayai suaminya, sehingga hutang-hutang tersebut masih belum lunas sampai sekarang. Orang yang hampir sering membunuh saya, dan hampir memperkosa bahkan menjual adik-adik perempuan saya. Orang yang hampir membuat saya putus sekolah. Orang yang membuat saya beserta keluarga saya tidak bisa membeli baju baru, sehingga kami harus memakai baju-baju sempit. Orang yang semena-mena memukuli bahkan menyiksa ibu saya. Orang yang saya sebut “Dajjal Kecil” karena sama sekali tidak punya hati apalagi rasa kasihan. Saya bersyukur karena sekitar empat tahun yang lalu dia kembali ke kampungnya di Aceh, dan sampai sekarang tidak kembali. Tapi, sisa-sisa kebrutalannya membuat kami harus melunasi semua hutang-hutangnya serta semua perbuatannya. Ibu saya akhirnya sadar dari perburuannya atas para lelaki, serta mungkin menyesal atas semua perbuatannya terhadap anak-anaknya, dan sampai sekarang selalu berusaha membuat anaknya senang walaupun masih sering membuat kami stress dengan perbuatannya.
Soal masalah cinta, saya beberapa kali dengan dengan beberapa wanita, hanya saja saya belum sampai pernah berpacaran sampai sekarang. Namun ketika pertama kalinya saya jatuh cinta, itu pada saat saya mengambil kursus setelah lulus SMA, dia teman kursus saya yang bernama Sucika A. wanita tercantik yang pernah saya lihat di hidup saya. Wanita yang disukai oleh banyak pria. Namun karena ketidak-percayaan diri saya atas ekonomi dan masalah keluarga saya, saya tidak pernah mengungkapkan perasaan saya kepadanya.
Soal pekerjaan, saya beberapa kali bekerja di beberapa tempat dan pada akhirnya keluar.
Soal ayah saya, sebetulnya pada saat saya lulus SMA saya tinggal dengan ayah saya, dan ibu saya tinggal dengan suaminya, namun saat siang hari sampai sore hari dia pulang ke rumahnya. Namun sering suaminya berkunjung ke rumah kami dan membuat keributan. Ayah saya kurang tegas pada saat itu, sehingga mulai dari SMA gajinya diurus oleh ibu saya, dengan dalih untuk anak. Padahal anak-anaknya tidak terlalu terpenuhi kebutuhannya. Pada saat 2 tahun setelah saya lulus SMA, ayah saya bertemu seorang wanita yang sering menjadi TKW dan pada akhirnya menikahinya. Sama seperti ibu saya, ayah saya belum terlalu mengenal wanita itu namun langsung menikahinya. Sepertinya memang bakat orang tua saya dalam membuat stress anan-anaknya. Apalagi ayah saya memang bakat dalam memilih wanita yang salah. Sebetulnya beberapa kali dia memilih wanita (yang hanya memelorotinya) sebagai teman wanitanya. Tapi anehnya, dia tidak pernah kapok dalam memilih wanita. Sama sekali tidak pernah belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Pada akhirnya ayah saya tinggal dengan istrinya, dan hanya sesekali menemui kami. Namun setiap kali ayah saya ketahuan menemui kami, wanita itu habis-habisan memarahi ayah saya. Wanita itu sering sekali bermain dukun dengan tujuan untuk mengguna-guna agar ayah saya tidak menemui kami, dan juga dengan tujuan untuk mengirim santet kepada kami (terutama saya dan ibu saya). Namun alhamduLILLAH ALLAH belum menghendaki kami untuk wafat, dan jadilah semua santet itu hilang. Akhirnya setahun yang lalu, ayah saya ikut wanita itu entah kemana, setelah ayah saya di PHK. Dan sampai sekarang, kami tidak pernah tahu bagaimana kabarnya.
Soal perkuliahan saya, alhamduLILLAH semuanya lancar. Walaupun kampus saya ada-ada saja kekurangannya. Apalagi dalam memberikan nilai. Jadilah nilai yang saya dapatkan tidak sesuai dengan kemampuan saya. Saya bisa kuliah setelah semua keadaan keluarga kami cukup stabil, disamping karena usia saya sudah terlalu tua jika tidak kuliah sekarang. Soal teman-teman perkuliahan saya, alhamduLILLAH semuanya sangat baik. Walaupun terkadang ada salah paham diantara kami, namun tidak pernah sekalipun kami sampai ribut apalagi tidak bertegur sapa. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik. Mereka orang-orang yang unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang selalu menjadi diri mereka sendiri tanpa pernah ada yang ditutup-tutupi. Dan yang utama mereka orang-orang yang serius menjalani kuliah mereka, terutama jika diberikan tugas, karena hampir tidak ada tugas yang mereka lewati, sesulit apapun tugas itu. Kami bersama-sama menjalani perkuliahan kami. Dan alhamduLILLAH kami sekarang sudah semester 3. Dan semakin lama, kami semakin kompak dalam menjalani perkuliahan kami. Harapan saya, kami bisa bersama-sama lulus dan menjadi sarjana.
Sungguh perjalanan hidup yang penuh dengan getir dan pahitnya kehidupan, tentunya Allah tidak akan menyia2kan hambanya yang sabar dalam menjalani hidup ini, tetaplah dekat kepada Allah, karena Allah sudah menyiapkan kejutan indah bagi hambanya yg sabar dan selalu bersandar kepadanya, pahit getir kehidupan yg dulu ka sudah jalani insyaallah akan Allah balas dengan masa depan yg gemilang, yg penting ttp semangat dalam berprestasi dan selalu dekatkan diri kita pada allah 😊
BalasHapusAamiin
HapusTerima Kasih hafiz urrahman atas dukungannya 😊
Long time to not see u
but when u see me again, u know about them 😢